Selamat Datang...!!!! Semoga Bermanfaat...

Selamat Datang...!!! Semoga Bermanfaat...!!!

Sikap Itsar dalam Dinamika Politik

Oleh : Cahyadi Takariawan

Ketika dakwah memasuki wilayah politik, ada berbagai dinamika yang menjadi bagian dari konsekuensi perpolitikan. Misalnya saja setiap prosesi politik lima tahunan, berupa pemilihan umum legislatif, atau pemilihan presiden, atau pemilihan kepala daerah. Selalu saja ada dinamika dalam menentukan calon anggota dewan, calon presiden yang diusung, atau calon kepala daerah yang diusung. Tentu saja dinamika itu adalah hal yang wajar, mengingat keputusan yang diambil menyangkut wilayah strategis dan memberikan dampak jangka panjang bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Pada berbagai partai politik, penentuan kepengurusan partai, penentuan calon anggota dewan, penentuan calon kepala daerah yang diusung, selalu menimbulkan konflik. Mereka berebut posisi, berebut jabatan, berebut kesempatan. Ambisi politik telah mengalahkan akal sehat, sehingga tidak jarang partai menjadi pecah dan berantakan. Kekecewaan akibat tidak ditempatkan sebagai calon anggota dewan, sering menjadi dalih untuk bertikai. Saling menjegal, saling menyikut, dan akhirnya menimbulkan barisan sakit hati. Rutin terjadi setiap prosesi pemilihan dan penentuan posisi politik.
Di sisi lain, sebagai muslim kita mendapatkan ajaran ukhuwah yang sangat indah. Kita mendapatkan arahan untuk mendahulukan saudaranya dibanding diri sendiri. Kita tidak diperbolehkan berlaku egois yang hanya memikirkan dan mementingkan diri sendiri. Ajaran tersebut kita kenal sebagai itsar, yaitu mengutamakan kepentingan saudaranya di atas kepentingan diri sendiri.

Adakah Itsar dalam Aktivitas Politik?
Mari tinggalkan perpecahan dan pertikaian berbagai partai politik setiap kali menentukan  posisi perpolitikan. Sesungguhnyalah sampai saat ini, itsar tetap terjaga dalam berbagai kegiatan politik. Dalam skala mikro, di tubuh gerakan dakwah yang berbentuk partai politik, kita bisa menyaksikan bagaimana prosesi pemilihan bakal calon anggota dewan. Ustadz Untung Wahono berkali-kali menyatakan, “Andai boleh memilih, saya memilih tidak menjadi calon anggota dewan. Biarlah ikhwah lain yang menduduki posisi itu, mereka jauh lebih layak dan lebih tepat dibanding dengan saya”.
Pada kesempatan lain, ustadz Untung Wahono menyatakan, “Andai saya boleh memberikan posisi yang diberikan kepada saya sebagai calon anggota legislatif kepada kader lainnya, pasti akan saya berikan. Saya lebih nyaman tidak menjadi calon anggota dewan”.
Sahabat saya, Muhammad Darul Falah menceritakan, “Saya memiliki aktivitas rutin setiap lima tahun sekali, yaitu mengundurkan diri dari proses pencalonan sebagai anggota dewan. Sayangnya, pengunduran diri itu selalu ditolak”. Menurutnya, masih sangat banyak kader lain yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang lebih tepat untuk menempati posisi itu. Ia tidak bersedia dijadikan calon anggota dewan, namun karena sifatnya adalah penugasan, maka setiap kali mengajukan pengunduran diri, selalu ditolak oleh para pimpinan di partai dakwah tempatnya berkiprah.
Bu Anis Byarwati dengan cepat merespon keputusan pimpinan Partai yang menyatakan tidak diperbolehkan suami isteri menjadi calon anggota dewan. Hanya diperbolehkan salah satu saja yang dicalonkan. Beliau mantap tidak maju menjadi calon anggota dewan, dan mempersilakan sang suami yang diproyeksikan menjadi calon anggota dewan. Semua mengerti, bahwa bu Anis Byarwati memiliki kapasitas yang sangat relevan dengan tugas sebagai anggota dewan, apalagi setelah beliau menyandang gelar doktor bidang ekonomi belum lama ini. “Masih banyak kader lain yang memiliki potensi dan kapasitas untuk menjadi anggota dewan”, ungkap beliau suatu ketika.
Demikian pula ustadz Makruf Amary yang selalu menolak untuk dijadikan calon anggota dewan. Beliau memilih menikmati kegiatan sosial karena merasa tidak tepat mendapat amanah sebagai anggota dewan. “Biarlah kader-kader lain yang ditempatkan dalam posisi anggota dewan, saya tidak tepat diberi amanah di bidang itu”. Padahal setiap menjelang Pemilu nama beliau selalu muncul sebagai salah seorang calon anggota dewan, namun beliau selalu konsisten menolak amanah itu karena merasa tidak tepat. “Saya diberi amanah dakwah yang lain saja. Masih sangat banyak amanah dakwah di luar parlemen”, lanjutnya.
Masih sangat banyak kita lihat fenomena seperti itu. Jika banyak kalangan masyarakat selama ini menilai, setiap partai politik atau politisi selalu berebut untuk menjadi anggota legislatif, maka terbukti penilaian itu tidak benar. Di kalangan kader dakwah, sikap mempersilakan kader lain untuk menempati posisi calon anggota dewan masih selalu kita jumpai di antara mereka. Tidak ada yang berebut posisi, daerah pemilihan atau nomer urut pencalonan. Semua saling mempersilakan kader lainnya.
Hanya karena penugasan atau keputusan Partai, maka mereka bersedia menjadi calon anggota legislatif. Bukan saling berebut ingin menjadi calon anggota legislatif. Namun mereka saling mempersilakan kader lainnya, dan dengan sikap itu memudahkan para pimpinan Partai untuk menempatkan calon anggota dewan tanpa ada keributan atau perebutan.
Belajar Itsar dari Generasi Terdahulu
Itsar sudah menjadi pelajaran penting dari generasi keemasan Islam. Para sahabat Anshar dan Muhajirin menjadi pembahasan yang sungguh luar biasa indah dalam pelajaran itsar. Anshar telah memiliki sikap yang sangat tulus dalam memuliakan saudara-saudara mereka dari kalangan Muhajirin. Kecintaan, pembelaan, pengutamaan terhadap saudara mereka atas diri mereka sendiri sungguh mencengangkan, sehingga pantas diabadikan dalam Al Qur’an :
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan” (Al Hasyr : 9).
Para sahabat Anshar digambarkan memiliki dua karakter yang sangat kuat, yaitu mencintai komunitas Muhajirin (yuhibbuuna man haajara ilaihim), dan memiliki kelapangan dada (salamatush shadr) terhadap Muhajirin. Coba perhatikan kalimat yang digunakan Al Qur’an dalam memberi gambaran kebersihan dan ketulusan hati masyarakat Anshar : “Walaa yajiduuna fii shuduurihim haajatan mimmaa uutuu, dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)”.
Allah menggunakan kata shudur, bukan qulub, ketika menggambarkan kondisi kelapangan dada masyarakat Anshar. Qulub (hati) itu lebih kecil bentuknya, dibandingkan dengan shudur (dada). Orang-orang Anshar itu memiliki kelapangan dada dalam berinteraksi dengan Muhajirin, tampak dalam penggunaan kata “haajatan”. Mereka tidak memiliki suatu keinginan dalam dada. Jangankan iri atau dengki (hasad), keinginan (hajat) saja tidak ada. Hasad tentu lebih besar nilainya dan lebih parah, sementara keinginan (hajat) itu lebih kecil dan sederhana.
Hal kecil berupa “hajat” saja tidak dijumpai dalam dada (shadr) mereka yang luas. Apalagi hasad. Luar biasa penggambaran ini !
Wa yu’tsiruuna ‘alaa anfusihim walau kaana bihim khashaashah, dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan”. Ketika Anshar mengutamakan (itsar) kepada Muhajirin, bukan berarti mereka tidak memiliki kesulitan. “Walau kaana bihim khashaashah”, masyaallah! Mereka memiliki kesulitan, namun tetap mengutamakan Muhajirin atas diri mereka sendiri. Luar biasa sikap yang ditampakkan oleh para sahabat generasi terdahulu.
Bagaimana Mereka Melakukannya?
Perhatikanlah kisah itsar di kalangan para sahabat Nabi Saw berikut ini. Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw, lalu dia berkata, “Sungguh aku ini miskin dan sangat lapar.” Lalu Rasulullah Saw menyampaikan hal tersebut kepada sebagian istri beliau. Maka mereka berkata, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air. Kemudian Rasulullah Saw menyampaikan hal itu kepada istri-istri beliau yang lain. Sampai semuanya mengatakan jawaban yang sama, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air”.
Rasulullah Saw pun bertanya kepada para sahabat, “Siapakah kiranya yang sudi menjamu tamuku malam ini?” Maka berkatalah seorang dari kalangan Anshar, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian sahabat tersebut membawa tamunya ke rumahnya dan berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah Saw.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa shahabat tersebut bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk menjamu tamu Rasulullah Saw). Istrinya pun menjawab, “Tidak ada, hanya makanan yang cukup untuk anak-anak kita”. Lalu sahabat tersebut berkata, “Sibukkanlah anak-anak kita dengan sesuatu (ajaklah bermain), kalau mereka ingin makan malam, ajak mereka tidur. Dan apabila tamu kita masuk (ke ruang makan), maka padamkanlah lampu. Dan tunjukkan kepadanya bahwa kita sedang makan bersamanya”.
Mereka duduk bersama, tamu tersebut makan, sedangkan mereka tidur dalam keadaan menahan lapar. Tatkala pagi, pergilah mereka berdua (sahabat dan istrinya) menuju Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw memberitakan pujian Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka berdua, “Sungguh Allah merasa kagum dengan perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian” (Muttafaq ‘alaih). Kemudian Allah menurunkan surat Al Hasyr ayat 9.
Subhanallah! Luar biasa sikap para sahabat Nabi Saw dalam mengutamakan saudara-saudara mereka. Kisah Perang Yarmuk berikut juga sangat masyhur. Abdullah bin Mush’ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit menceritakan, bahwa dalam perang Yarmuk, Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, “Berikan air itu kepadanya.” Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, “Berikan air itu kepadanya (al Harits)”. Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah meninggal tanpa sempat merasakan air tersebut (Riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid).
Sangat banyak kejadian semacam ini pada zaman keemasan Islam. Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Abu Thalhah pada perang Uhud menjadi pasukan panah dengan posisi di depan Nabi Saw, dia memang seorang yang ahli memanah. Apabila Abu Thalhah memanah maka Rasulullah Saw memperhatikan kemana sasaran anak panahnya mengena. Maka Abu Thalhah mengangkat dadanya (untuk melindungi Nabi) seraya berkata, “Wahai Rasulullah, supaya engkau tidak terkena sasaraan panah musuh, biarlah yang terkena adalah leherku bukan lehermu” (Riwayat Ahmad dan selainnya, sanadnya shahih).
Kisah beredarnya kepala kambing berikut juga sangat terkenal. Ibnu Umar Ra menceritakan bahwa salah seorang dari shahabat Nabi Saw diberi hadiah kepala kambing, dia lalu berkata, “Sesungguhnya Fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita.” Ibnu Umar mengatakan, “Maka ia kirimkan hadiah tersebut kepada yang lain, dan secara terus menerus hadiah itu dikirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh rumah, dan akhirnya kembali kepada orang yang pertama kali memberikan” (Riwayat al Baihaqi dalam Asy-Syu’ab).
Ada lagi kisah anggur. Ibnu Umar suatu ketika mengalami sakit, dia sangat menginginkan anggur pada awal musimnya. Maka dia mengutus Shafiyah dengan membawa satu dirham untuk membeli anggur segar. Ketika utusan mengantarkan anggur, dia diikuti oleh seorang pengemis. Setelah sampai di pintu rumah, maka utusan masuk. Dari luar berkata pengemis, “Ada pengemis.” Maka Ibnu Umar berkata, “Berikan anggur itu kepadanya.” Maka utusan itu memberikan anggur tersebut kepada si pengemis (Riwayat Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab).
Kejadian demikian itu terulang hingga dua kali, sehingga Shafiyah meminta agar pengemis itu tidak kembali lagi untuk ketiga kalinya.
Berikut adalah kisah roti. Anas bin Malik meriwayatkan dari Aisyah Ra, bahwa ada seorang miskin meminta-minta kepadanya padahal dia sedang berpuasa, sementara di rumahnya tidak ada makanan selain sekerat roti kering, berkata Aisyah kepada pembantunya, “Berikan roti itu kepadanya,” si pembantu menyahut, “Engkau nanti tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa”. Maka beliau berkata lagi, “Berikan roti itu kepadanya.” Perawi mengatakan, “Maka pembantu itu melakukannya, dan dia berkata, “Belum menjelang sore ada salah satu dari keluarga Nabi, atau seseorang yang pernah memberi hadiah mengantarkan daging kambing (masak) yang telah ia bungkus. Maka beliau memanggilku dan berkata, “Makanlah engkau, ini lebih baik daripada rotimu tadi” (Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa’).
Kisah berikut juga sangat menyentuh. Dari Aun bin Abdullah dia berkata, “Seseorang yang sedang berpuasa berteduh, ketika menjelang berbuka seorang pengemis datang kepadanya, ketika itu dia memiliki dua potong kue. Maka salah satunya diberikan kepada si pengemis, namun sejenak ia berkata, “Sepotong tidaklah membuatnya kenyang, dan sepotong lagi tidak membuatku kenyang, maka kenyang salah satu lebih baik daripada kedua-duanya lapar.” Akhirnya ia berikan yang sepotong lagi kepada si pengemis. Kemudian ketika tidur dia bermimpi didatangi seseorang dan berkata, “Mintalah apa saja yang kau kehendaki.” Dia menjawab, “Aku minta ampunan”. Orang tersebut berkata, “Allah telah melakukan itu untukmu, mintalah yang lain lagi!” Dia berkata, “Aku memohon agar orang-orang mendapatkan pertolongan” (Riwayat Ad-Dainuri dalam Al-Mujalasah).
Kita memang belum ada apa-apanya dibanding mereka. Kadang masih ada hasad dalam hati kita terhadap posisi, kedudukan, jabatan dan kekayaan yang ada pada saudara kita. Astaghfirullahal ‘azhim. Kadang masih kita jumpai ada hasad dalam hati kita atas peluang kejayaan yang dimiliki atau diberikan kepada saudara kita. Astaghfirullahal ‘azhim. Dalam hati (qalb) yang kecil, terdapat hasad yang besar. Sementara para sahabat terdahulu, dalam dada (shadr) mereka yang luas, tidak terdapat hajat yang kecil. Subhanallah.

*http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=3032#more-3032

Tidak ada komentar:

Posting Komentar