dakwatuna.com - Membaca artikel Budi Pasopati di Kompasiana yang
berjudul “PKS Benalu Indonesia” pekan lalu, membuat saya menggeleng
kepala. Tulisan yang terkesan arogan dan tendensius itu bertubi-tubi
menghakimi kader-kader PKS yang orang Indonesia itu sebagai orang-orang
yang “numpang hidup” di Republik ini.
Saya jadi teringat obrolan
beberapa waktu lalu dengan seorang staf anggota dewan dari Partai
Hanura. Dia, yang mantan pengurus Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama
(IPNU) Jatim itu bilang bahwa hanya PKS partai yang belum ada orang
NU-nya. Sembari bercanda dia bilang PKS masih belum “disusupi” oleh NU.
Saya, yang kebetulan berkultur NU dan pernah meneliti tentang PKS
mengatakan kepadanya bahwa di PKS juga banyak warga NU dan kalangan
tradisionalis muslim lain.
Tampaknya Budi Pasopati harus membaca
serakan buku-buku yang ditulis oleh banyak peneliti di berbagai
universitas baik dalam dan luar negeri tentang bagaimana PKS sebetulnya
merupakan melting pot (titik temu) dari berbagai varian pemahaman Islam di Indonesia. Di PKS ada warga NU, Muhammadiyah, PII, HMI, Persis, dan seterusnya.
Perlukah
saya memberitahu Budi Pasopati bahwa anggota MPP PKS bernama Mushlih
Abdul Karim adalah santri pesantren langitan, Tuban. Bahkan Muslih Abdul
Karim yang merupakan murid kesayangan Alm. KH. Abdullah Faqih
itu terbiasa mentradisikan tahlil setiap malam Jumat di King Ibnu Su’ud
University, Saudi Arabia.
Demikian pula, Anggota MPP PKS yg lain
yakni Ahzami Samiun Jazuli adalah putra Kyai NU Sami’un Jazuli, bahkan
Abdul Roqib, (Aleg PK 99-04) adalah Mantan Ketua GP Anshor Lampung. Atau
perlukah saya tambahkan lagi bahwa tokoh-tokoh PKS seperti H. Bukhari
Yusuf, MA, sekretaris Dewan Syariah PKS, adalah murid kesayangan KH.
Noer Ahmad S, ahli Ilmu Falak NU, H. Bakrun Syafi’i, MA alumni Pesantren
Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta adalah murid kesayangan KH Ali
Ma’shum. H. Amang Syafruddin, Lc, Msi alumnus Pesantren NU Cipasung,
Tasikmalaya yang sering dipuji sebagai murid nomor satu.
Mantan
menteri kehutanan dari PKS yang sekarang menjabat walikota Depok,
Nurmahmudi Ismail juga adalah santri pondok pesantren salafiyah
al-Ishlah, Kediri, dan lain-lain, dan lain-lain…
Demikian pula dari Muhammadiyah, ada Hidayat Nurwahid, ada pula Anis Matta, dan seterusnya.
Jadi,
tulisan Budi Pasopati yang secara “tendensius dan arogan” itu keliru
jika mengatakan bahwa PKS itu numpang hidup di Indonesia karena tidak
memiliki akar sejarah pemikiran Islam di dalam negeri.
Apakah
penulis artikel tersebut juga ingin mengatakan bahwa Sang Pencerah
KH.Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah pemikir Islam yang numpang hidup di
Nusantara hanya karena pemikirannya terinspirasi dari Muhammad Abduh di
Timur Tengah melalui ajaran Ahmad Khatib (1860-1916) yang merupakan
pengikut M.Abduh di Makkah sana?
Apakah penulis tersebut ingin
mengatakan bahwa Muhammad Natsir atau KH.Agus Salim adalah pemikir Islam
numpang hidup di Indonesia karena kedekatannya dengan Ikhwanul Muslimin
di Mesir?
Atau apakah penulis tersebut juga ingin mengatakan
bahwa M.Rasjidi, Menteri Agama RI pertama itu juga pemikir numpang hidup
hanya karena sering menghadiri kajian yang diasuh oleh Sayyid Qutb?
Atau
apakah Budi Pasopati juga ingin mengatakan bahwa Gerakan Persatuan
Islam (PERSIS) adalah gerakan numpang hidup karena di inspirasi oleh
gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Rasyid Ridha dari Timur Tengah nun
jauh di sana?
Mengapa pula harus alergi dengan istilah-istilah
Arab yang kerap digunakan oleh kader PKS seperti kata “Ikhwan
dan akhwat”?. Perlukah Budi Pasopati diberitahu bahwa penggunaan
istilah Ikhwan yang ditujukan untuk menyebut saudara laki-laki
itu sudah dipakai sejak lama oleh penganut tarekat di Indonesia, bahkan
dalam tradisi melayu pada era 1930-an tema ini sudah dipakai secara umum
sebagai panggilan untuk menyebut saudara sesama Muslim. Ditandai dengan
penggunaan kata ini dalam penerbitan surat kabar berbahasa Melayu
Jawi, Saudara (Yon, 2005).
Memang mengherankan jika beberapa kalangan merasa “dirugikan” dengan penggunaan kata “akhi-ukhti” yang merupakan bahasa pergaulan di kalangan segmen masyarakat tertentu, namun tetap enjoy dan tidak terganggu mendengar kelompok lain menggunakan istilah “sis and bro” untuk memanggil teman-temannya. Bukankah istilah sis and bro juga merupakan istilah asing? Jika orang lain boleh menguccap I love U, mengapa sebagian lain tidak boleh mengucap ana uhibbukum fillah?” apakah
bahasa Inggris boleh sedang bahasa Arab tidak boleh? Hidung saya justru
mencium aroma-aroma rasisme di sini. Seperti mana Budi Pasopati
menyebut orang-orang Mesir memiliki watak Firaun. Saya tiba-tiba
teringat ucapan teman kuliah dulu yang aktif di HMI-MPO, dia mengatakan
bahwa hanya orang primitive yang masih bicara atas dasar rasisme hari
ini.
Penulis artikel tersebut yang merasa paling Indonesia itu,
tampaknya harus membaca sejarah pemikiran Islam Indonesia lebih banyak.
Agar tak arogan menilai orang lain menumpang hidup. Agar tak tendensius
melihat gerakan Islam semata karena tak disukainya, bahkan kalau mau
konsisten, harusnya Budi Pasopati bilang bahwa kita semua adalah
orang-orang yang numpang hidup di Nusantara, karena nenek moyang kita
(ras Austronesia atau Detro Melayu) yang diperkirakan berasal dari
Taiwan dan Cina Selatan, menurut satu teori baru datang melalui laut dan
sampai di Nusantara melalui Jawa dan Sumatera sekitar 3.000 tahun lalu.
sementara penduduk asli di Nusantara terdesak ke hutan-hutan. jadi kita
semua adalah orang-orang yang numpang hidup di sini. (sbb/dakwatuna)
–
Masaa-ul Khair (kalau tidak boleh dan dianggap menumpang, saya ganti dengan Good Afternoon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar