KESUNGGUHAN MEMBANGUN PERADABAN
Oleh : Cahyadi Takariawan
Cobalah sedikit kita tengok kesungguhan orang-orang Hollywood bekerja menghasilkan karya film. Kesungguhan mereka tampak dalam besaran biaya yang dikeluarkan untuk proses pembuatan film, dan tampak pula dari kualitas produk yang dihasilkan. Kita tercengang melihat kesungguhan insan perfilman Hollywood yang mudah sekali menghamburkan dana ratusan juta dolar Amerika, demi memuaskan ambisi mereka. Padahal, dari keseluruhan usaha dan kesungguhan tersebut, hasilnya hanyalah : sebuah film !
Ya, film berdurasi dua jam. Diputar di bioskop dan layar televisi. Sekali orang menonton, mungkin ada yang mengulang menonton sekali lagi. Setelah itu bosan, tidak akan mengulang menontonnya lagi. Seluruh kesungguhan tim dalam menggarap sebuah film, mengeluarkan dana ratusan juta dolar Amerika, dan hasilnya hanyalah panggung hiburan. Hanya film. Sebuah khayalan, sebuah ketidakseriusan, ketidaksungguhan, karena bernuansa fiksi walau diangkat dari kisah nyata yang pernah ada.
Coba kita perhatikan. Film Avatar menjadi film paling mahal yang ada saat ini. Film yang diproduksi James Cameron ini menghabiskan biaya 500 juta dolar Amerika untuk pembuatannya. Berikutnya adalah film Pirates of the Caribbean: At World’s End buatan Gore Verbinski, menghabiskan biaya 300 juta dolar Amerika. Peringkat ketiga adalah film Spiderman 3 produksi Sam Raimi, menelan biaya produksi 258 juta dolar Amerika.
Peringkat keempat adalah film Pirates of the Caribbean: Dead Man’s Chest buatan Gore Verbinski, memerlukan biaya 225 juta dolar Amerika. Peringkat kelima adalah film X-Men: The Last Stand produksi Brett Ratner yang menghabiskan dana 210 juta dolar Amerika. Setelah itu barulah film Titanic. Film produksi James Cameron tahun 1997 ini menghabiskan biaya 200 juta dolar Amerika, padahal pembuatan kapalnya sendiri “hanya” memerlukan 123 juta dolar Amerika pada masanya.
Pada contoh film Avatar, biaya produksi 500 juta dolar Amerika dianggap kecil, karena sampai dengan awal tahun 2010 kemarin telah menghasilkan uang US $ 1,840,797,418. Fantastik, baik dana pembuatan maupun hasil yang didapatkan dari pemutaran film Avatar di seluruh dunia, selama setahun saja. Dari modal US $ 500 juta, hanya setahun di pasaran, sudah kembali US $ 1,8 M.
Coba kita rupiahkan, dengan kurs US $ 1 sama dengan Rp 8.600. Biaya pembuatan film Avatar adalah Rp 4.300.000.000.000 atau 4,3 trilyun rupiah. Bisakah kita hitung, proyek dakwah apakah yang bisa dibiayai dengan 4,3 trilyun rupiah ? Proyek kebaikan apa saja yang bisa dihadirkan dengan sediaan dana 4,3 trilyun rupiah ? Mimpi apa saja yang bisa terwujudkan oleh dana sejumlah itu ? Cobalah kita buat proposal untuk menghabiskan dana pembuatan film Avatar itu. Ternyata mereka habiskan begitu saja demi membuat hiburan bernama film.
Di Hollywood, dana 4,3 trilyun rupiah ternyata hanya diwujudkan dalam sebuah tayangan berdurasi sekitar 2 jam. Ya, hasilnya hanyalah film, hanya hiburan, hanya khayalan, hanya ketidaksungguhan. Padahal prosesnya sangat bersungguh-sungguh, namun hasilnya berupa hiburan dan tontonan saja. Kita sering mendengar keluhan sulitnya menghadirkan tuntunan, karena tidak ada yang serius membiayai, sedangkan untuk tontonan begitu mudah orang mengeluarkan biaya.
Dengan kurs yang sama (kita samakan kurs-nya sekedar untuk memudahkan penghitungan), kita bisa menghitung produksi film Titanic menghabiskan biaya Rp 1.720.000.000.000, atau 1,72 trilyun rupiah. Dana itu juga dianggap murah, karena sampai awal tahun 2010 telah mengeruk keuntungan sebesar US $ 1,835,300,000 atau sama dengan Rp 15.783.580.000.000, yaitu sekitar Rp 15,8 trilyun.
Jika kita ambil sampel enam film itu saja, total biaya produksinya mencapai US $ 1.693.000.000, atau sekitar Rp 14.559.800.000.000. Ya, 14,5 triliun rupiah hasilnya hanyalah enam buah film, enam tontonan, enam hiburan. Uang dalam kisaran Rp 14 triliun, apakah yang bisa dilakukan di Indonesia dengan uang sejumlah itu ? Coba kita tengok salah satu program pemerintah Indonesia, yang dikoordinasikan oleh Kementrian Koordinator Kesra.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengatakan, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 14 triliun untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pada tahun 2010 kemarin. Menko Kesra menyatakan, peningkatan alokasi anggaran untuk PNPM bisa membantu masyarakat untuk membangun dan mengembangkan potensi diri hingga bisa keluar dari kemiskinan.
Menurut Menko Kesra, PNPM Mandiri merupakan wadah pembelajaran bagi masyarakat terhadap nilai moral dan etika, “Masyarakat dibimbing untuk membangun kemitraan dalam mewujudkan keinginan bersama”. Agung Laksono menyebutkan, jumlah tersebut meningkat jika dibanding tahun 2009 yang sebesar Rp 9,9 triliun. Peningkatan ini karena respons masyarakat terkait program PNPM sangat positif. Dengan program ini masyarakat dibina dan diberdayakan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi yang baik, menguatkan semangat kegotongroyongan sosial dan ekonomi dalam rangka meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat.
Kita bisa melihat anggaran PNPM Mandiri selama satu tahun hanya setara dengan biaya pembuatan enam buah film Hollywood saja. Enam film itu kalau kita lihat berturutan hanya memerlukan waktu satu hari saja. Padahal jika digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat, ternyata bisa menjadi program nasional selama satu tahun. Luar biasa etos dan kesungguhan insan perfilman Hollywood, tidak berhitung uang yang dikeluarkan, demi sempurnanya produk sesuai yang diharapkan.
Lalu bagaimanakah dengan kesungguhan kita melakukan proyek kebaikan selama ini ? Bagaimana kesungguhan kita melakukan proses pembangunan manusia Indonesia seutuhnya ? Bagaimana kesungguhan kita dalam melakukan dakwah ? Sudah pasti, kesungguhan tidak bisa diukur dari banyaknya dana yang dikeluarkan. Namun perbandingan tadi saya angkat dalam rangka untuk menunjukkan betapa sebuah hiburan, sebuah tontonan, ternyata dibangun dari kerja keras dan kesungguhan menghadirkan berbagai hal terbaik, sehingga biayanya menjadi mahal.
Sekedar membuat tontonan 2 jam, proses pembuatannya berbulan-bulan, menggunakan berbagai peralatan canggih, menghimpun sangat banyak pakar dan keahlian, melibatkan ratusan hingga ribuan orang dalam pembuatannya. Mereka sangat perfect dalam pengambilan gambar, sehingga harus melakukan latihan serius dan harus mengulang-ulang adegan demi mendapat hasil yang sempurna. Tidak jarang harus membuang banyak bagian karena hasilnya tidak memuaskan. Dalam proses animasi, mereka menggunakan teknologi super canggih untuk mendapatkan hasil maksimal. Bayangkan bagaimana harus menggambarkan proses tenggelamnya kapal Titanic agar tampak seperti nyata.
Sementara untuk melakukan kebaikan, kadang belum tampak usaha yang serius dan belum tampak kesungguhan yang optimal dalam merancang maupun menjalankan programnya. Padahal yang akan dihasilkan bukanlah tontonan, bukanlah hiburan, namun sebuah peradaban yang nyata. Kita masih banyak permakluman dan permaafan kepada kegiatan yang ala kadarnya, yang kurang terencana, yang kurang bagus manajemennya. Semua kita maklumi sendiri, dengan alasan masih belajar, sedang berproses, harus bersabar, dan lain sebagainya.
Padahal kita tidak sedang mengada-ada tentang gambaran kapal Titanic, yang kita lakukan justru membangun sebuah kapal peradaban sesungguhnya. Kapal yang tidak boleh pecah dan karam. Kapal yang akan membawa kehidupan menuju kepada kebaikan dan cahaya. Kapal yang akan menjauhkan penumpangnya dari kerusakan, dan membawa mereka semua dalam bimbingan Ketuhanan. Kapal yang akan menghantarkan kepada pulau harapan. Seharusnya dilakukan dengan segenap kesungguhan jiwa, dilakukan dengan segenap pikiran dan perasaan. Bukan ala kadarnya, bukan semaunya, bukan sesempatnya.
Sudahkan kita bersungguh-sungguh melakukan kebaikan ? Sudahkah kita menghadirkan segenap kesungguhan dalam kerja di medan perjuangan ? Ingatlah, hasil akhir yang kita dapatkan bukanlah sebuah hiburan, bukanlah sebuah tontonan, namun sebuah peradaban. Sebuah kehidupan. Sebuah harapan.
Mari bekerja sepenuh kesungguhan.
nDalem Mertosanan, Yogyakarta, 26 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar